vip

Jumat, 18 November 2016

Hukum Rokok

Alhamdulillah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Siapa yang meniliti dengan baik kalam ulama, pasti akan menemukan bahwa hukum rokok itu haram, demikian menurut pendapat para ulama madzhab. Hanya pendapat sebagian kyai saja (maaf yang barangkali doyan rokok) yang tidak berani mengharamkan sehingga ujung-ujungnya mengatakan makruh atau ada yang mengatakan mubah. Padahal jika kita meneliti lebih jauh, ulama madzhab tidak pernah mengatakan demikian, termasuk ulama madzhab panutan di negeri kita yaitu ulama Syafi’iyah.

Ulama Syafi’iyah seperti Ibnu ‘Alaan dalam kitab Syarh Riyadhis Sholihin dan Al Adzkar serta buku beliau lainnya menjelaskan akan haramnya rokok. Begitu pula ulama Syafi’iyah yang mengharamkan adalah Asy Syaikh ‘Abdur Rahim Al Ghozi, Ibrahim bin Jam’an serta ulama Syafi’iyah lainnya mengharamkan rokok.

Qalyubi (Ulama mazhab Syafi’I wafat: 1069 H) ia berkata dalam kitab Hasyiyah Qalyubi ala Syarh Al Mahalli, jilid I, hal. 69, “Ganja dan segala obat bius yang menghilangkan akal, zatnya suci sekalipun haram untuk dikonsumsi. Oleh karena itu para Syaikh kami berpendapat bahwa rokok hukumnya juga haram, karena rokok dapat membuka jalan agar tubuh terjangkit berbagai penyakit berbahaya“.

Ulama madzhab lainnya dari Malikiyah, Hanafiyah dan Hambali pun mengharamkannya. Artinya para ulama madzhab menyatakan rokok itu haram. Silakan lihat bahasan dalam kitab ‘Hukmu Ad Diin fil Lihyah wa Tadkhin’ (Hukum Islam dalam masalah jenggot dan rokok) yang disusun oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid Al Halabi hafizhohullah terbitan Al Maktabah Al Islamiyah hal. 42-44.

Di antara alasan haramnya rokok adalah dalil-dalil berikut ini.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan“. (QS. Al Baqarah: 195).

Karena merokok dapat menjerumuskan dalam kebinasaan, yaitu merusak seluruh sistem tubuh (menimbulkan penyakit kanker, penyakit pernafasan, penyakit jantung, penyakit pencernaan, berefek buruk bagi janin, dan merusak sistem reproduksi), dari alasan ini sangat jelas rokok terlarang atau haram.

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ

“Tidak boleh memulai memberi dampak buruk (mudhorot) pada orang lain, begitu pula membalasnya.” (HR. Ibnu Majah no. 2340, Ad Daruquthni 3/77, Al Baihaqi 6/69, Al Hakim 2/66. Kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih).

Dalam hadits ini dengan jelas terlarang memberi mudhorot pada orang lain dan rokok termasuk dalam larangan ini.

Perlu diketahui bahwa merokok pernah dilarang oleh Khalifah Utsmani pada abad ke-12 Hijriyah dan orang yang merokok dikenakan sanksi, serta rokok yang beredar disita pemerintah, lalu dimusnahkan. Para ulama mengharamkan merokok berdasarkan kesepakatan para dokter di masa itu yang menyatakan bahwa rokok sangat berbahaya terhadap kesehatan tubuh. Ia dapat merusak jantung, penyebab batuk kronis, mempersempit aliran darah yang menyebabkan tidak lancarnya darah dan berakhir dengan kematian mendadak.


🔴🔴 Sanggahan pada Pendapat Makruh dan Boleh

Sebagian orang (bahkan ada ulama yang berkata demikian) berdalil bahwa segala sesuatu hukum asalnya mubah kecuali terdapat larangan, berdasarkan firman Allah,

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

“Dia-lah Allah, yang telah menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu“. (QS. Al Baqarah: 29).

Ayat ini menjelaskan bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah di atas bumi ini halal untuk manusia termasuk tembakau yang digunakan untuk bahan baku rokok.

Akan tetapi dalil ini tidak kuat, karena segala sesuatu yang diciptakan Allah hukumnya halal bila tidak mengandung hal-hal yang merusak. Sedangkan tembakau mengandung nikotin yang secara ilmiah telah terbukti merusak kesehatan dan membunuh penggunanya secara perlahan, padahal Allah telah berfirman:

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu“. (QS. An Nisaa: 29).

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa merokok hukumnya makruh, karena orang yang merokok mengeluarkan bau tidak sedap. Hukum ini diqiyaskan dengan memakan bawang putih mentah yang mengeluarkan bau yang tidak sedap, berdasarkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ

“Barang siapa yang memakan bawang merah, bawang putih (mentah) dan karats, maka janganlah dia menghampiri masjid kami, karena para malaikat terganggu dengan hal yang mengganggu manusia (yaitu: bau tidak sedap)“. (HR. Muslim no. 564).

Dalil ini juga tidak kuat, karena dampak negatif dari rokok bukan hanya sekedar bau tidak sedap, lebih dari itu menyebabkan berbagai penyakit berbahaya di antaranya kanker paru-paru. Dan Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan“. (QS. Al Baqarah: 195).


🔴🔴🔴 Jual Beli Rokok dan Tembakau

Jika rokok itu haram, maka jual belinya pun haram. Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا حَرَّمَ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ ثَمَنَهُ

“Jika Allah ‘azza wa jalla mengharamkan untuk mengkonsumsi sesuatu, maka Allah haramkan pula upah (hasil penjualannya).” (HR. Ahmad 1/293, sanadnya shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth). Jika jual beli rokok terlarang, begitu pula jual beli bahan bakunya yaitu tembakau juga ikut terlarang. Karena jual beli tembakau yang nanti akan diproduksi untuk membuat rokok, termasuk dalam tolong menolong dalam berbuat dosa. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah: 2)


🔴🔴🔴🔴 Komentar Orang Awam

Sering didengar orang berkomentar, “Jika rokok diharamkan, lalu bagaimana nasib jutaan rakyat Indonesia yang hidup bergantung dari rokok; para petani tembakau, para pedagang dan para buruh di pabrik rokok, apakah ulama bisa memberi mereka makan?”

Andai komentar ini berasal dari non muslim mungkin permasalahan tidak terlalu besar karena mereka memang tidak mau mengerti bahwa rezeki mereka berasal dari Allah.

Yang paling mengenaskan, sebagian umat Islam ikut mengumandangkan komentar tersebut. Padahal pernyataan ini mengandung kesyirikan, merusak tauhid Rububiyah, meyakini bahwa Allah semata pemberi rezeki. Jangankan seorang muslim, orang jahiliyah saja yakin bahwa Allah semata yang memberi mereka rezeki, Allah berfirman:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ … فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi? … Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?”. (QS. Yunus: 31).

Apakah mereka tidak yakin bahwa yang memberi rizki pada para petani itu Allah?

Apakah mereka tidak percaya bahwa yang memberi makan pada para buruh pabrik juga Allah?

Kenapa mesti ragu? Kenapa tidak yakin dengan Allah yang Maha Memberi Rizki kepada siapa saja dari makhluk-Nya? Lantas kenapa masih cari penghidupan dari yang haram?

Ingatlah sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik.” (HR. Ahmad 5/363. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Wallahu waliyyut taufiq. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.



__________
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

Islam Mengajarkan Adab-adab

Islam Mengajarkan Adab-adab yang Membuat Lelaki Menjadi Lelaki Sejati
Banyak adab-adab dalam Islam bagi para lelaki yang mengarahkan mereka untuk jadi lelaki sejati. Maka yang menerapkan adab-adab tersebut insya Allah jauh dari suka sesama jenis atau LGBT, bahkan akan jadi lelaki yang sejati.
Di antaranya:
* Islam melarang laki-laki menyerupai wanita.
* Islam membolehkan sebagian pakaian dan perhiasan khusus bagi wanita namun haram bagi lelaki, agar terbedakan penampilan wanita dan lelaki.
* Islam mewajibkan suami mencari nafkah, sedangkan istri tidak wajib bahkan untuk dibolehkan ada syarat-syaratnya.
* Islam mewajibkan lelaki shalat berjamaah di masjid, sedangkan wanita lebih baik di rumah.
* Islam mewajibkan shalat jum'at, sedangkan wanita tidak diwajibkan.
* Islam mensyariatkan ketika mengingatkan imam dalam shalat, lelaki dengan suara, wanita dengan tepukan. Lelaki boleh lantang, sedangkan wanita dikedepankan sitr (menutup diri) dan malu.
* Islam menganjurkan agar lelaki tidak sisiran tiap hari, yang baik adalah ghibban (sehari sisiran, sehari tidak). Agar tidak menjadi lelaki pesolek.
* Islam melarang mencukur jenggot. Diantara hikmahnya agar wajah lelaki tidak halus lembut seperti wanita.
* Islam mensyariatkan jihad bagi lelaki. Sedangkan jihad bagi wanita adalah haji.
* Karena itu, disyariatkan pula semua hal yang termasuk i'dad jihad seperti berlatih berkuda, memanah, berenang, bahkan termasuk juga bela diri, lari, dan melatih fisik.
* Islam melarang khalwat dan ikhtilat, yang diantara hikmahnya lelaki akan lebih sering berkumpul bersama para lelaki dan terbentuk karakter lelaki. Munculnya sifat kewanitaan terkadang karena sering berkumpul dengan para wanita.
* Islam menganjurkan untuk bersegera menikah. Di antara hikmahnya, dengan menikah lelaki akan semakin timbul kelaki-lakiannya, dan wanita semakin timbul kewanitaannya.
* Islam melarang istri menolak ajakan berhubungan intim dari suami, bahkan bercumbu dengan istri termasuk sedekah. Lebih sering terjadi percumbuan dan hubungan intim antara suami istri, lebih baik. Bahkan ulama membahas berapa batas maksimal suami-istri tidak berhubungan intim. Dan tentu kemesraan serta hubungan intim dengan istri akan semakin menumbuhkan jiwa kelaki-lakian sang suami.
* Islam menganjurkan untuk memiliki banyak anak. Tentu ini juga mempertajam sifat kelaki-lakian sang ayah.
* Islam mengajarkan adab berjalan bagi lelaki yaitu yang tegap, gagah, tenang tapi tidak lambat, tidak seperti orang malas dan juga tidak gemulai.
Dan masih banyak lagi insya Allah adab-adab yang lain yang jika kita renungkan ternyata membuat seorang lelaki menjadi lelaki sejati.
Belum lagi jika kita membaca sirah para Nabi dan sahabat Nabi, mereka adalah lelaki sejati. Mereka gagah perkasa, baik dalam jihad ilmu maupun dalam jihad perang.
Wallahu a'lam bis shawab.
📝 Al-Ustâdz Yulian Purnama

Hukum Mengkhususkan Hari Berziarah Kubur

Hukum Mengkhususkan Hari Berziarah Kubur (Saat 'Ied & Menjelang Ramadhan)
Ziarah kubur adalah amalan yang disyariatkan yang bertujuan untuk mengingat mati, peringatan terhadap akhirat, zuhud terhadap dunia (Ash-Shan’ani - Subulussalam) serta mendoakan penghuni kubur dari kalangan Muslimin (HR. Ahmad 6/252 – Ahkamul Jana’iz hal. 239)
Akan tetapi tidak diperbolehkan mengkhususkan hari-hari tertentu saat berziarah, seperti menjelang Ramadhan, saat ‘ied, hari Jum’at maupun hari-hari yang lain. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ولا تجعلوا قبري عيدا
"Janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai ‘ied." (HR. Abu Dawud 2042, Ibnu Taimiyyah dalam "Iqtidha' Ash-Shirathil Mustaqim" 2/169 berkata, "Sanadnya hasan memiliki syawahid", Ibnu Hajar Al-'Asqalani dalam "Al-Futuhat Ar-Rabbaniyyah" berkata, "Hasan", Syaikh Al-Albani menshahihkannya "Shahihul Jami'" 7226)
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan:
العيد ما يعتاد مجيئه وقصده من زمان ومكان، مأخوذ من المعاودة والاعتياد، فإذا كان اسماً للمكان فهو المكان الذي يقصد فيه الاجتماع وانتيابه للعبادة وغيرها كما أن المسجد الحرام ومنى ومزدلفة وعرفة والمشاعر جعلها الله عيداً للحنفاء ومثابة للناس
"'Ied adalah sesuatu yang kehadirannya dan maksudnya berulang-ulang baik waktu maupun tempat. Kata 'ied diambil dari kata "al-mu'awadah" (kembali) dan "al-i'tiyad" (biasa). Kata 'ied bila dipakai untuk nama tempat maka maknanya adalah tempat yang dituju untuk berkumpul dan menunaikan ibadah atau selain itu. Seperti Masjidil Haram, Mina, Muzdalifah, 'Arafah, dan tempat-tempat lainnya yang dijadikan Allah sebagai ‘ied bagi orang-orang yang beriman serta tempat pertemuan bagi manusia." (Ighatsatul Lahafan 1/190)
Asy-Syaikh Al-'Allamah Shalih Al-Fawzan berkata, "Kata 'ied bermakna sesuatu yang selalu terjadi secara berulang-ulang. 'Ied ada dua macam yaitu "'ied zamani" (terkait waktu) seperti 'ied Ramadhan dan 'iedul adh-ha, dan "'ied makani" (terkait tempat) yaitu tempat yang dipakai untuk berkumpul dalam hitungan tahun, pekan atau bulan dengan tujuan yang bernilai ibadah." (Syarh Masa'ilil Jahiliyyah hal. 233)
Maka menjadikan kuburan sebagai 'ied maknanya ialah menjadikannya sebagai tempat yang dikhususkan untuk beribadah atau mendekatkan diri kepada Allah dan juga bermakna mengkhususkan waktu untuk menziarahinya. Semua itu adalah amalan yang dilarang oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Asy-Syaikh Al-'Allamah ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad menegaskan:
أما زيارة القبور في يوم العيد أو في يوم الجمعة أو تخصيص يوم معين فلا يجوز ذلك
“Adapun ziarah kubur saat hari ‘ied atau hari Jum’at atau mengkhususkan hari-hari tertentu hal itu tidak diperbolehkan.” (Transkrip rekaman fatwa beliau)
Ziarah kubur adalah amalan yang disyariatkan setelah sebelumnya dilarang. Maka tidak boleh mengkhususkan hari tertentu padanya jika tidak ada dalil yang menunjukkan pengkhususannya. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menganjurkan ziarah kubur dengan lafal yang umum tanpa menentukan kapan waktunya:
زوروا القبور فإنها تذكركم الآخرة
"Berziarahlah ke kuburan karena hal itu akan mengingatkan kalian pada akhirat.” (HR. Muslim)
Dan orang yang mengkhususkan hari untuk berziarah sudah barang tentu menganggap adanya keutamaan atau keistimewaan bila dibandingkan dengan hari-hari yang lain. Maka ini termasuk amalan bid'ah yang menyelisihi ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
"Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak bersumber dari ajaran kami maka tertolak!" (HR. Muslim)
Adapun hikmah larangan pengkhususan ini di antaranya agar manusia tidak berlebih-lebihan terhadap kuburan -utamanya kuburan para Nabi dan orang-orang shalih- sebab perbuatan seperti itu dapat menjerumuskan pelakunya kepada kesyirikan dengan cara mengultuskannya.
Al-Ustâdz Fikri Abul Hasan
manhajul-haq.blogspot.com | Salafy Indonesia

MENABUNG UNTUK BANGUN RUMAH DI SURGA

Oleh: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi _hafidzohulloh_
Rumah adalah tempat berteduh dari terik panas dan hujan, tempat beraktifitas, tempat bercengkrama dg istri dan anak.
Semua orang berusaha untuk membangunnya dg banting tulang dan memeras keringat, bahkan walau dg modal nekat hutang, demi impian memiliki sebuah rumah.
Tapi banyak orang lupa bahwa semegah dan semewah apapun Rumah kita, yakinlah itu hanyalah Rumah sementara. Suatu saat kita akan meninggalkannya.
Oleh karenanya, marilah berjuang tuk menabung dan mencicil pembangunan Rumah kita yg abadi yaitu di surga nanti.
Berikut beberapa amalan tuk mencicil bangun Rumah di surga:
 *1. Melaksanakan shalat sunnah sebanyak 12 rakaat dalam sehari dan semalam.*
Rasulullah _shallallahu 'alahi wa sallam_ bersabda:
مَنْ صَلَّى اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِىَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ
*_“Barangsiapa mengerjakan shalat sunnah dalam sehari-semalam sebanyak 12 raka’at, maka karena sebab amalan tersebut, ia akan dibangun sebuah rumah di surga.”_* (HR. Muslim, no. 728)
Bersemangatlah wahai saudaraku untuk mengamalkan amal ibadah Sunnah, setelah melakukan yg wajib tentunya.
 *2- Membangun masjid.*
Masjid adalah Rumah Allah, tempat untuk bermunajat kepadaNya dg sholat, dzikir, ilmu dan sebagainya.
Maka siapapun yg punya andil membangunnya, Allah akan membalasnya dg membangunkan Rumah di surga untuknya. Rasulullah _shallallahu 'alahi wa sallam_ bersabda:
«مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ، أَوْ أَصْغَرَ، بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ»
*_"Barang siapa yg membangunkan sebuah masjid karena Allah, walaupun sekecil tempat bertelurnya burung Dara pasir, atau yg lebih kecil, niscaya Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga"._* (HR Ibnu Majah, dishahihkan oleh Albani, Shahih Jami' no: 6128)
 *3. Membaca surat Al-Ikhlas sebanyak 10 kali.*
Surat ini mungkin pendek tapi makna yg terkandung di dalamnya tentang masalah tauhid yg begitu agung. Tak ayal, Nabi _shallallahu 'alahi wa sallam_ mengatakan bahwa surat Al ikhlas setara dg 1/3 Al Quran.
Rasulullah _shallallahu 'alahi wa sallam_ bersabda:
«مَنْ قَرَأَ { قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ } عَشَرَ مَرَّاتٍ بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِيْ الجَنَّةِ» .
*_"Barang siapa yg membaca surat (Qul Quwallahu Ahad) sebanyak sepuluh kali, niscaya Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga"._* (HR Ahmad, dishahikan Albani, Sohihil Jami' no: 6472)
 *4, 5, 6: Meninggalkan perdebatan, Meninggalkan dusta, Berakhlak mulia*
Dari Abu Umamah _radhiyallahu ‘anhu_, ia berkata bahwa Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ bersabda,
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِى رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِى وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِى أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
*_“Aku memberikan jaminan rumah di pinggiran surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia orang yang benar. Aku memberikan jaminan rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan kedustaan walaupun dalam bentuk candaan. Aku memberikan jaminan rumah di surga yang tinggi bagi orang yang bagus akhlaknya.”_* (HR. Abu Daud, no. 4800, dihasankan Albani, Shohihul Jami' no: 1463)
Tinggalkan debat kusir yg tidak manfaatnya seperti yg banyak terjadi di medsos atau provokasi2 yg tidak perlu ditanggapi. Orang Jawa bilang: _seng waras ngalah...._
 *7. Sabar dan memuji Allah ketika musibah wafatnya anak*
Dari Abu Musa Al-Asy’ari _radhiyallahu ‘anhu_, ia berkata bahwa Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ bersabda,
إِذَا مَاتَ وَلَدُ الْعَبْدِ قَالَ اللَّهُ لِمَلاَئِكَتِهِ قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِى. فَيَقُولُونَ نَعَمْ. فَيَقُولُ قَبَضْتُمْ ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ. فَيَقُولُونَ نَعَمْ. فَيَقُولُ مَاذَا قَالَ عَبْدِى فَيَقُولُونَ حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ. فَيَقُولُ اللَّهُ ابْنُوا لِعَبْدِى بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ وَسَمُّوهُ بَيْتَ الْحَمْدِ
*“Apabila anak seorang hamba meninggal dunia, Allah berfirman kepada malaikat-Nya, _“Kalian telah mencabut nyawa anak hamba-Ku?”_ Mereka berkata, _“Benar.”_ Allah berfirman, _“Kalian telah mencabut nyawa buah hatinya?”_ Mereka menjawab, _“Benar.”_ Allah berfirman, _“Apa yang diucapkan oleh hambaKu saat itu?”_ Mereka berkata, _“Ia memujimu dan mengucapkan istirja’ (innaa lilaahi wa innaa ilaihi raaji’uun).”_ Allah berfirman, _“Bangunkan untuk hamba-Ku di surga, dan namai ia dengan nama baitul hamdi (rumah pujian).”_* (HR. Tirmidzi, no. 1021; Ahmad, 4: 415. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Hidup ini tak selalu sesuai keinginan kita. Maka marilah kita cerdas menghadapinya dg syukur dan sabar sebagai senjata utama, niscaya kita akan bahagia.

Kembali Kepada Al Quran dan Sunnah

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dasar pertama bagi mereka, karena Al-Qur-an dan As-Sunnah adalah satu-satunya sumber untuk mengambil atau mempelajari ‘aqidah Islam. Seorang Muslim tidak boleh mengganti keduanya dengan yang lain. Oleh karena itu, apa yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah wajib diterima dan ditetapkan oleh seorang Muslim, dan apa yang dinafikan (ditolak) oleh keduanya, maka wajib bagi seorang Muslim untuk menafikan dan menolaknya. Tidak ada hidayah dan kebaikan melainkan dengan cara berpegang teguh kepada Al-Quran dan As-Sunnah.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” [Al-Ahzaab: 36]

Sikap orang yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus mendengar dan taat, serta tidak boleh menolak apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menyatakan bahwasanya orang yang enggan dan menolak untuk mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak dikatakan beriman.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [An-Nisaa’: 65]

Allah Azza wa Jalla juga memerintahkan orang-orang yang beriman untuk kembali kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah, manakala mereka berselisih, dalam menentukan jalan keluar dari apa yang mereka perselisihkan. Simaklah firman-Nya berikut ini:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembali-kanlah ia kepada Allah (Al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisaa’: 59]

Imam Mujahid (wafat th. 103 H) rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat ini: “Kembali kepada Allah maksudnya adalah kembali kepada kitab Allah Azza wa Jalla. Sedangkan kembali kepada Rasul maksudnya adalah kembali kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Penafsiran seperti ini juga dilakukan oleh para ulama Salaf lainnya.[1]

Hal terbesar yang membedakan antara Salaf dengan yang lain dari golongan pelaku bid’ah (ahli bid’ah) adalah, Salaf menghormati dan menjunjung tinggi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sunnah bagi mereka adalah penjelas, penafsir dan pengurai Al-Qur-an, baik dalam bidang ‘aqidah maupun syari’ah. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengambil lahiriyah hadits, tidak menakwilkan serta tidak menolaknya dengan argumentasi yang lemah, sebagaimana ahli kalam yang mengatakan, bahwa hadits-hadits itu adalah hadits-hadits Ahad yang tidak bisa dijadikan sebagai dasar ilmu dan keyakinan. Ucapan ahli kalam ini sesat dan menyesatkan.

Imam asy-Syafi’i rahimahullah melihat bahwa di dalam syari’ah, kedudukan As-Sunnah adalah seperti Al-Qur-an. Apa yang ditetapkan dalam As-Sunnah adalah seperti apa yang ditetapkan di dalam Al-Qur-an, dan apa yang diharamkan oleh As-Sunnah sama dengan apa yang diharamkan oleh Al-Qur-an. Sebabnya adalah karena keduanya berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.[2]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
___
Footnote
[1]. Tafsiiruth Thabari (IV/154, no. 9884-9886) dan Tafsiir Ibni Katsiir (I/568).
[2]. Lihat Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/86).



===============================================

🔴🌎🔴 SUNNAH NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM MENAFSIRKAN AL-QUR’AN, DALAM MENGURAIKAN, MENERANGKAN DAN MENJELASKAN NAMA DAN SIFAT ALLAH[1]
↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani semua hal yang disifatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hadits-hadits yang shahih dan telah diterima oleh para ulama. Hukum As-Sunnah sama dengan hukum Al-Qur-an dalam menetapkan ilmu, keyakinan: ‘aqidah (i’tiqad) dan amalan, karena As-Sunnah menjelaskan Al-Qur-an tentang Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah menurut hakikatnya yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya.[2]

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ

“Dan Allah telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur-an) dan Hikmah (As-Sunnah) kepadamu.” [An-Nisaa’: 113]

وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ

“Dan Allah telah mengajarkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur-an) dan Hikmah (As-Sunnah).” [Al-Baqarah: 129]

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur-an, agar engkau menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” [An-Nahl: 44]

Pada firman-Nya yang lain:

وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلَّا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ ۙ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur-an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” [An-Nahl: 64]

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Dan apa yang diperintahkan Rasul kepadamu, maka ambillah. Dan apa yang dilarang, maka jauhilah.” [Al-Hasyr: 7]

Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَلاَ إِنِّي أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ.

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab (Al-Qur-an) dan yang sepertinya (yaitu As-Sunnah) bersamanya.”[3]

Maka, segala sesuatu yang telah dijelaskan oleh Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Sifat-Sifat Allah, maka sesungguhnya Al-Qur-an telah menunjukkannya pula. Karena Sunnah termasuk juga wahyu yang diturunkan dan diajarkan oleh Allah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur-an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm: 3-4]

Imam Ahmad rahimahullah berkata tentang hadits-hadits mengenai Sifat Allah Azza wa Jalla:

نُؤْمِنُ بِهَا وَنُصَدِّقُ بِهَا وَلاَ نَرُدُّ شَيْئًا مِنْهَا إِذَا كَانَتْ أَسَانِيْدُ صِحَاحٌ.

“Kita mengimani dan meyakininya dengan tidak menolak sedikit pun daripadanya, jika isnadnya shahih.”[4]

___________________________________
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
___
Footnote
[1]. Pembahasan di sini hanya dikhususkan tentang wajibnya berpegang teguh dengan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjelaskan Nama dan Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Meskipun pada prinsipnya Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjelaskan ‘aqidah, ahkam dan seluruh ajaran Islam.
[2]. Lihat at-Tanbiihaatul Lathiifah (hal. 48).
[3]. HR. Abu Dawud (no. 4604), Ahmad (IV/131) dan al-Ajurri dalam kitab asy-Syarii’ah, dari Sahabat al-Miqdam bin Ma’di Karib Radhiyallahu anhu. Hadits ini shahih.
[4]. Lihat Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (III/502 no. 777).